Modal Popularitas vs Tiket Partai

Modal Popularitas vs Tiket Partai

Pemilihan Presiden 2024 masih tiga tahun mendatang. Namun, bursa kandidat pasangan calon presiden sudah mulai ramai dibicarakan. Elit partai juga sudah melirik kandidat yang berpotensi menang 2024 mendatang. PPP misalnya mengajukan nama Khofifah yang masih menjabat gubernur Jatim sebagai wakil presiden.

Nama ketua dan elit parpol sudah mulai digadang-gadang untuk maju dalam gelaran pilpres mendatang. Di sisi lain, tokoh-tokoh kepala daerah juga memiliki kans yang besar untuk maju dalam kontestasi mendatang. Popularitas kepala daerah dan elit parpol akan menjadi kontestasi yang menarik menuju pemilihan umum 2024. Pola terpilihnya Presiden Jokowi pada 2014, sebelumnya adalah gubernur DKI Jakarta, coba dibaca kembali oleh beberapa kalangan parpol dan kandidat kepala daerah. Bahwa model Jokowi pada pilpres 2014 mungkin terjadi lagi atau tidak. 

Meskipun memiliki popularitas yang tinggi, kandidat yang tidak didukung oleh partai politik akan kesulitan untuk maju dalam kontestasi. Dengan batas ambang pencalonan presiden (presidential threshold) 20%, tiket dari partai politik dan atau koalisi partai politik akan sangat menentukan dalam perebutan kursi kepresidenan mendatang.

Setidaknya ada dua hal penting dalam hal ini, pertama adalah sosok calon kandidat dengan popularitas yang tinggi, yang kedua adalah dinamika internal parpol dan koalisi parpol yang akan memberikan tiket kepada kandidat yang mereka usung. 

Kepala Daerah vis a vis Elit Partai

Popularitas adalah modal awal untuk mencapai kemenangan dalam kontestasi pemilihan umum. Dari data survei Indonesian Presidential Studies (IPS) April 2021 menunjukan ada setidaknya tujuh kandidat calon presiden kuat dari tigapuluh nama. Mulai dari yang terkuat adalah Prabowo Subianto (25,4%), Anies Baswedan (14,7%), Ganjar Pranowo (14,4%), Sandiaga Uno (6,4%), Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY (4,8%), Ridwan Kamil (4,7%), Khofifah Indar Parawansa (3,4%). Nama elit partai seperti Puan Maharani (0,2%), Muhaimin Iskandar (1,5%), Airlangga Hartanto (1,6%) masih kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia. Kandidat kepala daerah yang cemerlang seperti Tri Rismaharini dan Nurdin Abdullah juga masih memiliki elektabilitas yang rendah. 

Dari data IPS di atas, setidaknya bisa kita tarik dua hal. Pertama, bursa calon presiden 2024 diisi oleh tokoh dengan latar belakang tokoh yang pernah berkontestasi pada momen politik sebelumnya. Prabowo Subianto sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi misalnya, adalah kontetastan dua kali pilpres. AHY meskipun kalah pada pilkada DKI 2016, berhasil membuat namanya masuk dalam radar tujuh tertinggi. Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah dan Sandiaga Uno adalah pemenang dalam gelaran kontestasi pilkada yang lalu.

Kedua, dengan presidential threshold yang masih 20%, calon kandidat yang bukan elit partai meski memiliki elektabilitas yang tinggi akan sangat bergantung pada komunikasi dan tiket elit parpol. Kepala daerah seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil akan sangat bergantung kepada pinangan parpol. Sedangkan kepala daerah yang merupakan kader partai seperti Ganjar Pranowo dan Khofifah Indar Parawansa tergantung kepada dinamika antar faksi di internal parpol dan arahan ketua partai. Kontestasi elit partai yang menginginkan kursi presiden dan popularitas kepala daerah akan menjadi hal menarik dalam kontestasi ke depan. 

Tiket Kandidasi Partai dan Potensi Polarisasi

Muncul usulan agar pilpres 2024 diikuti oleh dua pasang calon saja. Seperti pengalaman pilpres 2014 dan 2019. Usulan ini salah satunya dimunculkan melalui pernyataan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang tetap ingin membangun koalisi dengan partai lain. Meskipun PDIP, jika merunut UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, bisa mengajukan calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Mengingat PDIP memiliki 128 kursi DPR RI. Melebihi batas minimal yang disyaratkan oleh UU, yakni 115 kursi DPR RI. Alasan Hasto agar kontestasi politik tidak menguras banyak energi dan waktu.

Dari sisi efisiensi proses penyelenggaraan pemilu, ide dua pasangan calon nampak positif. Karena akan menghemat biaya dan jangka waktu penyelenggaraan pemilu. Akan tetapi hal itu juga akan memunculkan ruang abu-abu jika rekrutmen kandidat pasangan calon presiden tidak dilakukan secara inklusif.

Panggung pilpres hanya akan menjadi ruang kompetisi antar elit yang berkuasa di parpol atau kalangan tertentu yang memiliki kedekatan dengan elit kunci parpol. Selain itu, dua pasangan calon juga membuka kemungkinan menguatnya polarisasi politik seperti yang terjadi pada pilpres 2014-2019. Kampanye ketat,  brutal dengan ragam hoax, seperti isu komunisme beredar guna membunuh karakter pesaing.

Residunya terus ada meski pilpres sudah selesai. Karenanya, selain proses rekruitmen kandidat berjalan inklusif, parpol juga harus memastikan proses politik tetap menjaga etika demokrasi dan tidak merusak sikap saling percaya antar masyarakat. Karena hal tersebut merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi.

Share this post