Menerjemahkan Pernyataan Megawati tentang ‘Petugas Partai’
Sebagai mana kita saksikan, pernyataan Megawati beberapa waktu lalu bahwa kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang tidak mau menjadi petugas partai harus out. Yang mana hal tersebut disampaikan dalam konteks peresmian 25 kantor partai yang ada di sejumlah daerah di Indonesia.
Dibandingkan partai lain, PDIP ini memiliki keunikan karena partai ini termasuk partai kader yang mengedepankan basis ideologi partai sebagai pilar utamanya. Saya kira pernyataan Bu Mega tersebut ditujukan ke internal kader dan anggota PDIP, khususnya yang berasal dari tiga pilar partai.
Pertama, para kader partai yang menjadi pengurus organisai partai, baik di level pusat hingga daerah. Kedua, jajaran kader partai yang menduduki jabatan-jabatan eksekutif, mulai Kepala/Wakil Kepala Daerah, tak terkecuali Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, hingga yang menjabat sebagai Presiden, sebagaimana yang kita tahu saat ini adalah Pak Jokowi. Ketiga, para elit PDIP yang menduduki jabatan publik di lembaga legislatif, mulai DPRD Kota/Kabupaten, Propinsi hingga DPR RI.
Memiliki Tiga Peran Sekaligus
Dalam perspektif marketing politik, ketiga nya memiliki dua posisi dan peran sekaligus. Pertama, sebagai entitas pasar politik internal PDIP. Kedua sebagai barisan marketer (pemasar) ideologis dan mesin pemasaran politik yang menjadi tumpuan PDIP dalam memasarkan dirinya sebagai partai politik di Indonesia
Selain ditujukan kepada mereka, pernyataan tersebut juga di tujukan kepada publik secara luas, dan juga elit-elit politik dari partai lain. Terkait dengan publik, Bu Mega tampaknya ingin menegaskan karakter organisasi, keunikan, political branding dan positioning PDIP, sebagai partai kader yang berbasis massa, dibandingkan partai-partai lain.
Terkait dengan para elit/pimpinan partai, statement Bu Mega ini juga tampaknya dimaksudkan untuk ‘memagari’ para kader nya, agar tidak tergoda untuk terseret dalam skenario dan agenda-agenda politik dari partai-partai lain.
Apa yang dicontohkan oleh Bu Mega ini merupakan langkah taktis dan strategis, sebagai seorang pemimpin partai, dalam mengawal model kepemimpinan organisasi partai sekaligus menjadi referensi dalam praktik-praktek pemasaran politik partai.
Hal ini, kalau kita baca sampai saat ini, masih jarang kita temukan di partai-partai lain. Mungkin, hanya beberapa pimpinan parpol di negeri ini yang melakukan model-model serupa dengan apa yang dilakukan oleh Bu Mega, yaitu Pak Prabowo Subijanto pimpinan Partai Gerindra dan Pak Surya Paloh, pimpinan Partai Nasdem
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) Jakarta