‘’Bebas Aktif’ RI dalam Stabilisasi Kancah G20: Mediasi Konflik Negeri ‘Tirai Besi’ dan Si ‘Lumbung Roti Eropa”
Politik Bebas Aktif Indonesia dalam Kancah Presidensi G20 Indonesia 2022
Oleh : Widji Anugrah Sari (UPN Veteran Jawa Timur)
G20 merupakan kependekan dari group of twenty yang sebagaimana namanya adalah konsorsium multilateralisme dari 19 negara dan satu organisasi supranasional Uni Eropa (UE) (G20 Indonesia, 2022). Tujuannya adalah untuk menghubungkan dan mewadahi kerja sama antara negara-negara maju dan berkembang utama di dunia. G20 memiliki peran strategis sebagai batu loncatan dan pagar yang mengamankan kemakmuran ekonomi global di masa depan mewakili lebih dari 80% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 75% perdagangan internasional dan 60% populasi dunia (G20 Indonesia, 2022). Perkembangannya dimulai dari tahun 1999 sebagai forum pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Kemudian forum tersebut perlahan berubah menjadi pertemuan puncak tahunan yang melibatkan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan negara-negara anggotanya.
Pada tanggal 31 Oktober 2021, telah berlangsung KTT G20 di Roma, Italia dengan agenda serah terima keketuaan (handover) dari Perdana Menteri Mario Draghi (Presidensi Italia) kepada Presiden Joko Widodo (Kemlu RI, 2021). Untuk pertama kalinya, Indonesia memegang Presidensi G20 yang berlangsung selama satu tahun dimulai sejak tanggal 1 Desember hingga 30 November 2022. Momentum tersebut dimanfaatkan Indonesia untuk memperoleh kredibilitas atau kepercayaan masyarakat internasional dalam memimpin pemulihan global. Di samping itu, kepemimpinan Indonesia dalam G20 juga untuk menciptakan efek ganda bagi Indonesia dengan citra ‘Indonesia is open for business’ sehingga Presidensi G20 bisa berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia (LEMHANNAS RI, 2022).
Manuver Indonesia dalam kancah internasional tentunya tidak lepas dari ‘panduan’ Politik Luar Negeri Bebas Aktif yang senantiasa menjadi modal utama Indonesia dalam hubungan antar bangsa (LEMHANNAS RI, 2022). Sebagaimana salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, maka salah satu peranan penting Indonesia dalam Presidensi G20 adalah menjadi penghubung (bridge builder) yang dilandasi dengan ketulusan dan netralitas. Mengutip dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementrian Keuangan RI (t.t), prinsip ‘bebas’ berarti bebas menentukan sikap kebijaksanaan dalam suatu permasalahan internasional tanpa mengikatkan diri secara priori hanya pada salah satu pihak. Selain itu, prinsip aktif bermakna partisipasi aktif Indonesia dalam ketertiban dan perdamaian dunia melalui penyelesaian konflik dan sengketa internasional (JDIH KEMENKEU RI, t.t).
Salah satu isu penting yang disorot dalam kelancaran pelaksanaan Presidensi G20 adalah hubungan yang terjalin antar negara anggota. Belum lama ini dunia dikejutkan dengan seteru antara dua mantan sekutu yakni Rusia sebagai salah satu dari lima negara adidaya yang mendiami kursi Dewan Keamanan (DK) Tetap PBB menginvasi Ukraina dengan serangan skala besar di Donetsk dan Luhansk (Hernandez, 2022). Setelah itu, Presiden Putin mengumumkan operasi militer khusus berupa serangan rudal, serangan udara serta invasi darat skala besar di seluruh Ukraina, termasuk Ibu kota Kyiv (Nikolskaya & Osborn, 2022).
Pertanyaan kritisnya adalah apa yang harus dilakukan Indonesia sebagai negara tuan rumah tentang kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam KTT G20 Bali pada November 2022 setelah agresinyanya terhadap Ukraina. Sebagian besar anggota G20 terutama negara-negara anggota G7 (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jepang, Italia, Perancis dan Jerman) mengecam tindakan Rusia dan mendorong sanksi embargo yang serius (East Asia Forum, 2022). Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison sepakat menyuarakan untuk mengeluarkan Rusia dari G20. Namun sejumlah anggota lainnya seperti India, Turki, Brasil dan Indonesia sendiri selaku negara tuan rumah tampaknya tidak mendukung dikeluarkannya Putin dari KTT G20 (East Asia Forum, 2022).
Sedangkan Tiongkok bersikap netral dengan memberi bantuan kemanusiaan secara konsisten ke Ukraina sambil tetap mempertahankan hubungan kokohnya dengan Rusia. Meskipun menyayangkan tindakan Presiden Putin atas dasar kemanusiaan, Indonesia cenderung menampakkan sikap yang sama dengan Tiongkok. Pada Juni 2022, Presiden Jokowi mengunjungi Kiev dan Moskow untuk menawarkan diri menjadi jembatan diplomatik kedua negara (Marques, 2022). Tindakan tersebut menyorot Presiden Jokowi sebagai Pemimpin Asia pertama yang melakukan perjalanan ke kedua ibu kota negara yang berkonflik. Hal tersebut sekaligus menunjukkan langkah tegas Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 2022 di tengah tekanan polarisasi dua pihak yakni mereka yang ingin mengeluarkan Rusia dari G20 dan pihak yang tidak mendukung eliminasi Rusia.
Indonesia Sebagai Mediator Konflik Rusia-Ukraina
Sebelum membahas peran Indonesia sebagai mediator konflik antara Rusia dan Ukraina, kita perlu sedikit mengulas selayang pandang mengenai hubungan cinta dan benci antara kedua negara dalam konteks historis. Di masa lalu, Ukraina adalah bagian dari Rusia dalam balutan pribadi Uni Soviet. Seorang Ukraina yang berdiri dengan tenang di depan tank Rusia dan Miss Ukraina yang berpose dengan senapan Kalashnikov bukanlah pemandangan baru bagi Kyiv, ibu kota Ukraina yang dijuluki dengan ‘City of Brave’ (Kumar, 2022). Jika Uni Soviet pernah memenangkan Ukraina menggunakan hati di masa lalu, seharusnya Presiden Putin menjadikannya sebagai pembelajaran bahwa memenangkan Ukraina di masa sekarang juga harus menggunakan hati alih-alih menodongkan moncong senjata ke sekutu dekatnya lewat peristiwa aneksasi Krimea oleh Rusia pada tahun 2014.
Pasca runtuhnya Uni Soviet, pergantian presiden Ukraina sejak tahun 1990an hingga abad 21 terus mengalami perbedaan tendensi sekutu dekat antara kecenderungan pro-Rusia atau kecenderungan menjadi sekutu dekat Uni Eropa dan NATO dengan label pro-Barat. Hal itu pula yang menciptakan hubungan seteru-damai yang terus berulang antara Rusia dan Ukraina dalam kurun waktu 3 dekade. Mengutip dari Castillo (2002), Leonid Kravchuk, seorang sosialis SovietUkraina, terpilih menjadi presiden pertama Ukraina setelah mendeklarasikan kemerdekaan dari Moskow pada tahun 1991. Presiden terpilih selanjutnya adalah Viktor Yuschenko, seorang simpatisan Barat yang cenderung lebih dekat dengan UE dan NATO daripada dengan Rusia. Selanjutnya pada tahun 2010, Presiden Yanukovich terpilih menjadi Presiden Ukraina selanjutnya. Pada tahun 2013, ia menangguhkan pembicaraan damai dengan UE dan NATO, sehingga dari sanalah ia mendapatkan kepercayaan Moskow untuk memperkuat hubungan politik dan ekonomi dengan Rusia (Castillo, 2022).
Masyarakat Ukraina yang pro-Barat melakukan protes yang berujung pada kekerasan dan tewasnya puluhan orang di Kyiv. Di tahun yang sama, Parlemen Ukraina memilih untuk menggulingkan Presiden Yanukovich yang berakhir pada pencaplokan wilayah Krimea oleh Rusia pada tahun 2014 (Castillo, 2022). Presiden terpilih selanjutnya adalah Petro Poroshenko, seorang pengusaha yang pro-Barat. Lalu pada tahun 2019, Poroshenko mencalonkan diri sebagai presiden untuk kedua kalinya, namun pada pemilihan presiden 2019 ia dikalahkan oleh mantan aktor dan komedian dengan konten politik, Volodymir Zelensky (Castillo, 2022). Presiden Zelensky yang cenderung pro-Barat membentuk pemerintahan Ukraina menjadi pemerintahan yang menjalin kedekatan serius dengan UE dan NATO sepanjang tahun 2021. Serangkaian peristiwa di tahun 2021 inilah yang mendorong meledaknya bom waktu serangan Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 (Castillo, 2022).
Melihat bagaimana kedua negara memiliki sejarah panjang dalam dinamika hubungan bittersweet, bukan perkara mudah utuk mendamaikannya. Rusia dengan martabat negara adidaya tidak akan tunduk semudah itu kepada respon atau keputusan Ukraina terhadapnya. Tidak juga kepada negara-negara adidaya Uni Eropa dan NATO yang berdiri di belakang Ukraina, terutama tunduk kepada AS, Inggris dan Perancis sebagai sesama anggota DK Tetap PBB. Sejarah panjang Rusia dengan ketiga negara dalam Perang Dingin ketika masih menjadi Uni Soviet dapat menjadi refleksi bagaimana Rusia di masa sekarang akan sulit mengindahkan kecaman AS dan sekutunya di blok Barat.
Kepemimpinan Uni Eropa menyetujui Ukraina sebagai kandidat anggota pada Juni 2022 dengan 70% aturan, norma dan standar UE telah diterapkan oleh Ukraina (Bacon, Tebor, & Santucci, 2022). NATO juga telah memberikan pengakuan de jure kepada Ukraina dengan label keanggotaan aliansi meskipun Ukraina masih harus menunggu pertimbangan NATO untuk memberinya status de facto (Reuters, 2022). Meskipun status kandidat anggota UE dan keanggotaan aliansi NATO tidak menjamin keamanan militer yang disediakan oleh NATO, tetapi hal tersebut cukup membuat Rusia kembali meradang dengan melakukan invasi lanjutan terhadap
Ukraina pada Jum’at, 24 Juni 2022 (Bacon, Tebor, & Santucci, 2022).
Keputusan Presiden Jokowi menjadi mediator dalam konflik Ukraina-Russia tampak terlalu berani dan tidak sedikit pihak yang pesimis melihat jadwal kunjungan Presiden Jokowi kepada kedua negara sangat berdekatan dengan waktu invasi lanjutan Rusia kepada Ukraina yang hanya berjarak satu minggu setelah invasi. Pada akhir Juni 2022, Presiden Jokowi mengunjungi Kyiv dan Moskow yang didahului mengunjungi Kyiv terlebih dahulu pada tanggal 29 Juni 2022. Sehingga ketika mengunjungi Moskow pada tanggal 30 Juni 2022, Presiden Jokowi dapat menyampaikan pesan Presiden Zelensky terhadap Presiden Putin (Kemlu RI, President Jokowi Returns to Poland from Ukraine before Heading to Russia, 2022). Oleh negara-negara Barat, Indonesia dituntut adil dengan mengundang Ukraina pada KTT G20 jika Rusia termasuk dalam daftar hadir konferensi (Karman, 2022).
Berbicara mengenai mediasi, menurut Nnaemeka (2019) dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Peace and Conflict: A Comprehensive and Multi-perspective Exploration”, mediasi dimaksudkan sebagai intervensi pihak ketiga yang bertujuan membantu para pihak yang bersengketa dengan mendamaikan perbedaan mereka, mencapai kompromi hingga penyelesaian konflik. Mediator mengelola interaksi, memfasilitasi komunikasi dan dialog terbuka antara para pihak dengan berfokus pada kepentingan, kebutuhan dan hak para pihak yang berkonflik (Nnaemeka, 2019). Maka dalam hal ini, penting untuk mengetahui bagaimana karakteristik mediator.
Menurut Nnaemeka (2019), karakteristik yang biasanya dimiliki oleh mediator antara lain, (1)memiliki pengetahuan dan pemahaman yang wajar tentang wilayah konflik, entitas dan organisasi internasional; (2)memiliki kepercayaan diri, menunjukkan otoritas dan mengilhami pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai kesamaan; (3)berpengalaman dengan teknik negosiasi; (4)memiliki keterampilan mempertanyakan hal kritis guna menarik keluar fakta yang tersembunyi atau diabaikan dalam perselisihan dalam mempertahankan komunikasi; dan (5)menunjukkan kecenderungan untuk bersikap adil, objektif, netral dan seimbang dalam penilaian dan gaya penanganan konfliknya. Keuntungan dari resolusi konflik melalui mediasi antara lain memperjelas inti masalah, lebih memungkinkan mencapai kesepakatan atau ketidaksepakatan, memungkinkan resolusi beberapa poin masalah, mengidentifikasi atau memastikan kebutuhan dan kepentingan semua pihak terpenuhi, memberikan rasa hormat serta menawarkan kesempatan bagi pihak yang berseteru untuk mempertahankan dan memulihkan hubungan mereka (Nnaemeka, 2019).
Menganalisis inisiasi Indonesia sebagai mediator konflik Rusia-Ukraina berdasarkan karakteristik mediator yang telah disebutkan di atas dapat kita amati dari hubungan dekat Indonesia dengan Rusia dimana kedua negara banyak terlibat dalam kerja sama bilateral, organisasi internasional dan forum multilateral yang sama. Indonesia merupakan negara ASEAN yang menjadi eksportir tertinggi terhadap Ukraina, begitu juga bagi Ukraina, Indonesia menjadi pasar persenjataan yang penting (Kemendag RI, 2013). Indonesia memiliki pemahaman mengenai sejarah Ukraina sebagai bagian dari Rusia di masa lalu dibuktikan dengan kunjungan Presiden Jokowi ke Kyiv terlebih dulu untuk menyampaikan pesan Presiden Zelensky terhadap Presiden
Rusia Vladimir Putin sebagai negara yang melancarkan serangan besar karena didorong oleh sikap Ukraina yang cenderung memicu dilemma keamanan (security dilemma) dengan memutuskan bergabung dalam UE dan NATO meskipun menyadari bawah Ukraina memiliki kedekatan geografis dengan Rusia. Disini Presiden Jokowi ingin meredakan tensi ketegangan Rusia terhadap Ukraina dengan menyampaikan pesan Presiden Zelensky kepada Presiden Putin.
Langkah tegas Presiden Jokowi menjadi mediator untuk dua kepala negara tersebut didasari keberanian dan tanggung jawab karena Indonesia memegang otoritas Presidensi G20 untuk menjaga kelancaran pelaksanaannya. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik kepercayaan diri mediator untuk menunjukkan otoritasnya dalam mengilhami pihak-pihak yang berkonflik agar mencapai kesamaan. Pertanyaan besar dalam keanggotaan G20, apakah perang harus menjadi bagian dari agenda G20 tahun 2022? Meskipun perang tidak menjadi 3 agenda teratas G20 yang meliputi kesehatan global yang inklusif, transisi energi dan transformasi ekonomi digital, namun beberapa pakar ekonomi berpendapat bahwa pembahasan perang Rusia-Ukraina tidak terhindarkan. Pasalnya, konflik kedua negara telah memperdalam krisis ekonomi global yang memicu fluktuasi harga minyak dan komoditas lainnya (Karman, 2022).
Lalu karakteristik mediator yang berpengalaman dalam teknik negosiasi dan berkemampuan kritis untuk memandu komunikasi pihak-pihak yang bersengketa ditunjukkan Indonesia dengan rekam jejak yang baik dalam mediasi konflik regional ASEAN. Lina Alexandra, peneliti senior dari lembaga think tank Center for Strategic and International Studies yang berbasis di Jakarta, dalam tulisannya (1988-1991) menyebutkan bahwa Indonesia memainkan peran penting dalam menghentikan konflik bersenjata Kamboja dan mengakhiri pendudukan Vietnam di Kamboja. Selain itu, Indonesia juga bertindak sebagai perantara yang jujur dalam upaya perdamaian konflik antara Filipina dan kelompok separatis Front Pembebasan Nasional Moro dari tahun 1970-an hingga 1990-an. Pada tahun 1993, Indonesia memimpin Organisasi Konferensi Islam dan menjadi tuan rumah putaran kedua eksplorasi informal di Cipanas, Jawa Barat yang menghasilkan “Pernyataan Kesepahaman” antara pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Nasional Moro dan berujung ratifikasi perjanjian damai pada tahun 1996 (Karman, 2022). Terakhir, karakteristik mediator yang memiliki kecenderungan adil, objektif dan netral dalam upaya mediasi Rusia-Ukraina oleh Indonesia dapat dilihat dari ketegasan Indonesia yang tetap memasukkan Rusia ke dalam daftar hadir KTT G20 pada November 2022. Meskipun negaranegara Barat menyuarakan reshuffle Rusia dari G20, namun nyatanya Indonesia juga mempertimbangkan suara sebagian anggota G20 lainnya seperti Brasil, India dan Tiongkok yang tidak sepakat dengan blok Barat (Karman, 2022). Lagipula Indonesia menganut Politik Luar Negeri “Bebas Aktif” yang bersifat netral dan tidak memusatkan keberpihakan hanya pada satu negara. Menanggapi Indonesia yang memutuskan untuk tetap memasukkan Rusia dalam daftar hadir KTT G20, AS dan blok Barat menuntut agar Ukraina juga diundang dalam KTT tersebut. Indonesia memberikan tanggapan positif yang memungkinkan untuk mengundang Rusia dan Ukraina dalam KTT G20 agar menjadi titik awal mediasi yang lebih intensif (Karman, 2022).
Alasan Logis Indonesia Menjadi Mediator Konflik Rusia-Ukraina di Era Presidensinya dalam Forum G20 Tahun 2022
Pertanyaan retoris semacam apakah Presiden Jokowi memutuskan menjadi mediator konflik Rusia dan Ukraina demi kelancaran G20 semata atau hanya karena sekadar menjaga hubungan bilateral dengan kedua negara karena konflik keduanya cukup berdampak pada perekonomian dalam negeri? Indonesia telah menjaga citranya dalam forum internasional kurang lebih selama 8 dekade sejak kemerdekaannya. Salah satu forum multilateralisme yang menjadi sayap pengepak kerja sama Indonesia dengan negara-negara lintas benua adalah forum G20. Forum yang berdiri sejak tahun 1999 ini menjadi lini yang merangkul negara-negara maju dan negara berkembang utama guna merespon krisis moneter (Bank Indonesia, 2022).
Kemitraan Indonesia dengan negara-negara G20 tidak hanya memberi manfaat pada aspek kemakmuran ekonomi, tetapi kerja sama sosial budaya dan kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Lalu menempatkan posisi Indonesia untuk melawan Raksasa Rusia yang memiliki hubungan dekat dan sejarah yang panjang dengan Indonesia sendiri atau bersikap sebaliknya dengan berdiri penuh di sisi Rusia mengabaikan negara-negara adidaya Uni Eropa serta AS dengan NATOnya yang berdiri di belakang Ukraina? Keduanya tentu bukan pilihan yang bagus. Langkah Indonesia untuk menjaga netralitas adalah manifestasi Politik Luar Negeri Bebas Aktif, tujuan nasional dalam konstitusi negara untuk berpartisipasi aktif dalam agenda perdamaian dunia dan tindakan reflektif dari Gerakan Non-blok yang menjadi salah satu prestasi besar Indonesia di masa lalu.
Hal ini bisa terlihat dari keputusan Indonesia untuk memasukkan Rusia ke dalam daftar hadir KTT G20 menunjukkan kepada dunia bahwa komitmen non-bloknya tidak akan menyerah begitu saja pada tekanan negara-negara besar sekaligus menghindari munculnya keretakan yang tidak perlu dengan anggota G20 lainnya. Berdasarkan prinsip tersebut, Indonesia lebih memilih untuk menghindari keterlibatan dalam konflik terbuka dengan negara-negara besar dan menolak untuk bersekutu dengan satu pihak sambil memusuhi pihak lainnya. KTT G20 justru dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan kontribusi nyata bagi proses perdamaian dengan menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina di tengah kepemimpinan pertamanya pada forum G20 (Karman, 2022).
Untuk alasan yang lebih pragmatis, Jokowi dikenal sebagai pemimpin Indonesia yang memiliki banyak kekhawatiran terhadap isu kesejahteraan dalam perjalanan kepemimpinannya. Kekhawatiran yang paling jelas adalah ancaman terhadap ketahanan pangan dimana permasalahan tersebut berlangsung cukup lama di Jakarta sebagai ibu kota negara (Marques, 2022). Kondisi tersebut semakin memburuk ketika Rusia mulai menyeberang melewati batas teritorial negaranya menyerang silo (pusat penyimpanan hasil panen biji-bijian) milik Ukraina sebagai negara penghasil gandum terbesar di dunia. Pengeboman silo dan lahan pertanian negara yang dijuluki ‘lumbung roti Eropa’ tersebut tentunya mengganggu perhitungan logistik dan berdampak pada kenaikan harga gandum mengingat Indonesia adalah pembeli utama gandum Ukraina (Marques, 2022).
Dalam jaringan ekspor impor minyak bumi dan gas alam, negara-negara Barat dan Indonesia adalah importir terbesar bagi Rusia. Barat mulai mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan gas alam Rusia di masa agresi Rusia terhadap Ukraina (Dianti, 2022). Sedangkan dilansir dari situs trading economics (2022), impor minyak Indonesia dari Rusia meningkat dari tahun 2020 ke 2021. Selain itu, komoditas utama yang diekspor Indonesia ke Rusia yakni minyak sawit mencapai nilai 485 miliar USD dan minyak kelapa mencapai nilai 68,3 miliar USD (OEC, t.t). Selama 25 tahun terakhir, ekspor Indonesia ke Rusia terus meningkat dengan persentase peningkatan 9,31% sejak tahun 1995 hingga 2020 (OEC, t.t). Di tahun 2022, dengan wacana sanksi embargo AS terhadap Rusia dan berkurangnya ketergantungan minyak bumi dan gas alam Eropa terhadap Rusia, maka Rusia ingin memasarkan ekspor minyaknya ke Asia Tenggara. Indonesia melihatnya sebagai peluang harga yang bagus untuk membeli minyak dari Rusia.
Tidak pernah ada pembenaran atas tindakan agresi Rusia berupa serangan kemanusiaan yang menyasar warga sipil. Bencana tersebut juga berdampak terhadap perekonomian global terutama fluktuasi harga minyak serta komoditas lainnya yang berkepanjangan. Indonesia masih memanfaatkan momentum untuk tidak merusak hubungan bilateralnya sendiri dengan Rusia karena baik Indonesia dan Rusia, masing-masing adalah mitra dagang penting dalam komoditas minyak. Ada harga untuk tidak semakin memperparah kondisi kenaikan harga gandum oleh ulah
Rusia. Serangan Rusia terhadap Ukraina menunjukkan ciri khas ‘tirai besi’nya yang senantiasa memberi sekat idelogi dan fisik dengan negara-negara Eropa Barat. Selain cukup dekat dengan Indonesia, Tiongkok juga cukup dekat dengan Rusia. Indonesia tidak bisa begitu saja menyuarakan hal yang sama dengan blok Barat untuk mendepak Rusia dari G20 mempertimbangkan kedekatan Tiongkok dengan Indonesia dan memprediksi reaksi Tiongkok selanjutnya. Tetapi dengan catatan keaktifan Indonesia dalam promosi dan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) di banyak forum internasional, ditambah dengan status mitra utama bahan pangan dengan Ukraina (terutama gandum), Indonesia tidak bisa mengabaikan Ukraina begitu saja.
Sebagaimana keuntungan mediasi dalam resolusi konflik mengutip dari Nnaemeka (2019), mediasi memungkinkan untuk mengukur tingkat kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan memperjelas inti masalah, mengidentifikasi kepentingan para pihak bersengketa tanpa mengurangi rasa hormat karena menghindari bias, dan menawarkan kesempatan untuk memulihkan hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa. Bukan tanpa perhitungan atau hanya berdasar pada asumsi normatif saja Indonesia menjadi mediator bagi Rusia dan Ukraina. Ada alasan-alasan logis dengan pertimbangan yang matang dari langkah yang diambil Presiden Jokowi untuk bertindak ‘jemput bola’ (shuttle diplomacy) di masa kepemimpinannya dalam konsorsium besar sekelas G20, terkhusus ini adalah masa kepemimpinan pertama Indonesia. Cukup eksplisit untuk memperlihatkan bagaimana citra sebuah negara dapat turun dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama jika tindakan diambil secara gegabah dengan mengedepankan kecenderungan priori kepada salah satu kubu saja. Setiap mitra bernilai sama pentingnya bagi Indonesia. Indonesia tidak akan membiarkan krisis menjadikan hal yang membuatnya kehilangan satu saja mitra strategisnya dengan berpihak hanya pada salah satu polar.
Referensi
Bacon, J., Tebor, C., & Santucci, J. (2022, Juni 24). EU approves Ukraine candidacy for membership; Ukraine admits ‘threat of a tactical Russian victory’ in Donbas: June 23 recap. Dipetik Agustus 7, 2022, dari usatoday.com:
Bank Indonesia. (2022, Juli). Presidensi G20 Indonesia 2022. Dipetik Agustus 7, 2022, dari bi.go.id: https://www.bi.go.id/id/g20/default.aspx
Castillo, C. (2022, April 18). Ukraine and Russia: A Love-Hate Relationship. Dipetik Agustus 6, 2022, dari palawan-news.com: https://palawan-news.com/ukraine-and-russia-a-love-haterelationship/
Dianti, T. (2022). Indonesia mulls buying oil from Russia despite Ukraine invasion. Dipetik
Agustus 7, 2022, dari benarnews.org:
East Asia Forum. (2022, Maret 25). What Russia’s invasion of Ukraine means for the G20. Dipetik Agustus 6, 2022, dari eastasiaforum.org: https://www.eastasiaforum.org/2022/03/25/whatrussias-invasion-of-ukraine-means-for-the-g20/
G20 Indonesia. (2022). G20 Precidency of Indonesia – Recover Together and Recover Stronger. Dipetik Agustus 4, 2022, dari g20.org: https://g20.org/#q3
Hernandez, J. (2022). “Why Luhansk and Donetsk are key to understanding the latest escalation in Ukraine”. Dipetik Agustus 6, 2022, dari npr.org:
JDIH KEMENKEU RI. (t.t). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI. Dipetik Agustus 5,
2022, dari https://jdih.kemenkeu.go.id/:
20dimaksud%20dengan%20%22bebas%20aktif,kekuatan%20dunia%20serta%20secara %20aktif
Karman, M. M. (2022). How Indonesia, as G20 host, can be a mediator between Russia and
Ukraine. Dipetik Agustus 7, 2022, dari theconversation.com:
Kemendag RI. (2013). PRESS RELEASE – Trade Mission to Ukraine: A Promising Market Opportunity. Dipetik Agustus 7, 2022, dari kemendag.go.id:
http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/06/05/misi-dagang-ke-ukraina-peluang-pasaryang-menjanjikan-en0-1370412808.pdf
Kemlu RI. (2021). Indonesia Usung Semangat Pulih Bersama dalam Presidensi G20 Tahun 2022.
Dipetik Agustus 5, 2022, dari kemlu.go.id:
Kemlu RI. (2022, Juni 30). President Jokowi Returns to Poland from Ukraine before Heading to
Russia. Dipetik Agustus 7, 2022, dari kemlu.go.id:
Kumar, S. (2022, Maret 1). Love-hate relationship of Russia and Ukraine: A look at history. Dipetik Agustus 6, 2022, dari indiatoday.in: https://www.indiatoday.in/newsanalysis/story/love-hate-relationship-of-russia-ukraine-a-look-at-history-1919174-202203-01
LEMHANNAS RI. (2022, Juni 7). Presidensi G20 Momentum Indonesia Dapatkan Kepercayaan Internasional. Dipetik Agustus 5, 2022, dari lemhannas.go.id:
http://www.lemhannas.go.id/index.php/publikasi/press-release/1526-presidensi-g20momentum-indonesia-dapatkan-kepercayaan-internasional
Marques, C. F. (2022, Juli 5). Indonesia’s Shuttle Diplomacy Can Be More Than Empty Miles.
Dipetik Agustus 6, 2022, dari bloomberg.com:
Nikolskaya, P., & Osborn, A. (2022, Februari 24). “Russia’s Putin authorises ‘special military operation’ against Ukraine”. Dipetik Agustus 6, 2022, dari reuters:
Nnaemeka, F. O. (2019). Introduction to Peace and Conflict: A Comprehensive and Multiperspective Exploration. Enugu: Gostak Printing and Publishing .
OEC. (t.t). Russia (RUS) and Indonesia (IDN) Trade. Dipetik Agustus 7, 2022, dari
oec.world.com: https://oec.world/en/profile/bilateral-country/rus/partner/idn
Reuters. (2022, Juni 3). NATO should consider ‘de facto’ membership for Ukraine, Ukrainian defence minister says. Dipetik Agustus 7, 2022, dari reuters.com:
Trading Economics. (2022). Indonesia Imports from Russia. Dipetik Agustus 7, 2022, dari tradingeconomics.com: https://tradingeconomics.com/indonesia/imports/russia
Leave a Reply