Plus Minus Influencer Sebagai Komunikator Publik Pemerintah

Plus Minus Influencer Sebagai Komunikator Publik Pemerintah

BELUM lama ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis temuan mengejutkan tentang adanya dana Rp90 miliar yang digunakan pemerintah sejak 2014 untuk pembiayaan influencer. Temuan itu juga secara tersirat mengindikasikan adanya peran buzzer yang secara sistematis bekerja untuk membentuk opini publik dengan cara-cara yang dianggap melanggar etika komunikasi dan demokrasi.

Bagi masyarakat umum, penggunaan istilah influencer dan buzzer bukan suatu hal yang bisa dimengerti dengan serta-merta. Oleh karena itu, diperlukan upaya memberikan definisi yang tepat secara ilmiah dan fair terhadap praktik influencer dan buzzer, khususnya dalam konteks komunikasi publik di media sosial.

Adanya pendefinisian itu diperlukan agar dapat ditentukan standar norma dan etik terhadap praktik komunikasi infuencer dan buzzer itu dalam tatanan komunikasi publik pemerintahan.

Aktor komunikasi digital

Fenomena semakin meluasnya aktivitas komunikasi digital, terutama dalam konteks media sosial, telah memunculkan berbagai aktivitas dan istilah baru, seperti influencer dan buzzer, yang sangat mungkin ditafsirkan berbeda oleh publik.

Keduanya merupakan aktor dalam komunikasi digital. Namun, dalam prosesnya memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam perspektif kajian komunikasi, istilah influencer dapat dilacak dari kajian celebrity endorsements yang merupakan praktik penggunaan figur-figur populer (artis, super model, dll) untuk mempromosikan sebuah produk, merek, atau layanan tertentu (Schouten dkk, 2020).

Melalui citra positif dan karakteristik populernya, para selebritas itu memengaruhi keinginan masyarakat untuk menggunakan atau bahkan membeli produk yang dipromosikan. Berbagai penelitian menunjukkan, penggunaan figur-figur populer itu sangat efektif dalam penyampaian pesan promosi pada masyarakat luas.

Saat ini, seiring semakin tingginya tingkat penggunaan internet dan media sosial, praktik celebrity endorsements tidak hanya terbatas pada selebritas ‘tradisional’, tetapi juga mulai meluas pada yang disebut micro-celebrities, yaitu orangorang yang mendapatkan popularitas dan memiliki banyak pengikut di media sosial.

Menurut (Poeyry dkk, 2019), social media influencer dapat diartikan sebagai para selebritas (‘tradisional’ ataupun micro-celebrities) yang memiliki popularitas tinggi dan pengikut relatif besar di media sosial.

Dalam konteks politik, para aktor politik, baik di dalam pemerintahan maupun di parpol, juga mulai menyadari bahwa media sosial dan penggunaan influencer dapat dimanfaatkan membentuk opini publik, mendapatkan dukungan mayoritas. Bahkan, memenangi kompetisi pemilihan umum di berbagai tingkat.

Menurut Zhang dkk (2019), pemanfaatan dan penguasaan opini di media sosial terbukti penting dan dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik dan kinerja pemerintahan.

Berbagai bukti empiris hal itu, juga dapat ditemukan dalam berbagai kasus pemilihan di berbagai negara, seperti keberhasilan penggunaan Facebook dalam kampanye penggalangan dukungan Barrack Obama pada Pemilu 2008 di AS, fenomena penggunaan media sosial pada Pemilu Presiden 2014 dan 2019 di Indonesia.

Berbeda dengan influencer, fenomena buzzer lebih mengarah pada aktivitas komunikasi media sosial yang bertujuan meramaikan pembicaraan dan menyampaikan opini atau isu secara berulang, baik dibayar maupun secara sukarela.

Peran buzzer dapat dilakukan siapa saja di media sosial. Dalam situasi komunikasi politik kekinian di Indonesia, fenomena buzzer sering kali diwarnai akun-akun media sosial yang bersifat anonim, palsu, dan bahkan akun robot. Mereka mendengungkan dan mengusung satu isu tertentu serta tampil secara agresif menghalau isu atau opini lain dengan menghalalkan berbagai cara, seperti penggunaan bahasa kasar (makian), bahkan membunuh karakter pihak lain yang memiliki pendapat berbeda. Hal ini tentunya tidak dapat ditoleransi. Tren penggunaan influencer dan buzzer

Praktik penggunaan influencer dan buzzer pada aktivitas komunikasi publik pemerintahan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Namun, dalam kehidupan negara demokrasi, siapa pun yang menjadi aktor dan menjalankan aktivitas komunikasi publik dituntut menjunjung tinggi perbedaan dan kebebasan berpendapat. Penggunaan infl uencer dan buzzer itu bisa berdampak negatif bagi pemerintah.

Selain alasan itu, influencer juga belum sepenuhnya berkembang sebagai profesi komunikasi publik yang memiliki standar kompetensi dan etika komunikasi publik. Di masa mendatang sangat mungkin influencer dapat berkembang menjadi sebuah profesi yang menjanjikan. Untuk menuju ke arah itu, tentu diperlukan standar regulasi, kompetensi, dan kepatuhan pada norma dan etika komunikasi publik tertentu yang harus dipenuhi seorang influencer.

Kualifikasi dan standardisasi influencer

Influencer pada dasarnya bisa menjadi profesi yang baik dan terhormat. Hal ini dapat dilakukan jika para influencer mampu menjaga martabatnya sebagai komunikator publik. Untuk itu, beberapa agenda berikut dapat dipertimbangkan.

Pertama, influencer yang bekerja di lembaga pemerintah perlu memiliki kualifi kasi dan kompetensi yang relevan dengan bidang yang ditangani.

Kedua, para influencer yang disewa lembaga pemerintah perlu menyampaikan secara terbuka kepada publik bahwa pesan-pesan yang disampaikan merupakan bentuk kampanye publik yang bersifat komersial.

Ketiga, lembaga-lembaga pemerintah yang menggunakan jasa infl uencer juga perlu menyampaikan stardar kualifikasi dan kompetensi infl uencer yang mereka sewa.

Lembaga-lembaga itu juga perlu menunjukkan bahwa dalam merekrut infl uencer, mereka bersifat transparan, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai prinsip akuntabilitas pemerintahan.

Selain itu, mereka juga harus memberikan garansi bahwa influencer itu tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan dalam berdemokrasi dan membungkam kebebasan berpendapat di ruang publik. Dengan demikian, proses dialog dan pembelajaran dalam perbedaan pandangan dapat terus terjadi dan semakin mematangkan demokrasi.

Dalam negara demokrasi, proses interaksi, komunikasi, dan pembentukan persepsi serta opini publik secara demokratis sangat penting. Penggalangan opini dan dukungan publik oleh para infl uencer dengan menggunakan cara-cara kebencian, seperti hate speech, bullying, penyebaran kabar bohong (hoaks), pemutarbalikan fakta, dan pembunuhan karakter dapat membawa kita pada kemunduran dalam berdemokrasi.

Hal-hal itu tentu perlu kita kikis secara kolektif. Hanya dengan langkah itu kita masih bisa berharap influencer berkembang menjadi aktor komunikasi publik yang terhormat dan dapat diterima masyarakat.

 

 

 

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/342336-plus-minus-influencer-sebagai-komunikator-publik-pemerintah

Share this post