PDIP dan Gerindra Berpotensi Duet pada 2024
Pakar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad betpendapat, pembentukan poros PDIP-Gerindra berpeluang terjadi pada Pilpres 2024.
“Di atas kertas kedua partai itu (PDIP dan Gerindra) jika ditinjau dari perolehan kursi, juga bisa dibenarkan. Sumber daya bisa dibenarkan. Logika semua itu masuk akal. Bahwa dinamika pilpres masih sangat cair dan masih sangat jauh. Jadi kalau dikatakan, kira-kira peluangnya bagaimana? Gejala seperti itu 50-50. Tapi bisa saja fluktuatif, kita belum tahu dinamika mendatang seperti apa,” katanya, saat berbincang dengan Beritasatu.com. Nyarwi dimintai tanggapannya terkait pengukuhan kembali Prabowo Subianto sebagai Ketum dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Gerindra dan proyeksi Pilpres 2024, Rabu (12/8/2020)
Nyarwi mengemukakan, faktor lainnya, misalnya, kedekatan ideologi antara kedua partai bisa menjadi potensi dan bisa menjadi kendala.
PDIP dan Gerindra berpotensi berkoalisi, terang Nyarwi, karena warna keduanya nasionalis dengan massa yang sangat militan dan juga potensial untuk mendapat suara-suara di pilpres.
“Tetapi harus diingat juga katakanlah di blok nasionalis, yang merasa kurang puas kinerja dari kedua partai dengan sangat mudah memobilisasi suara, nasionalis plus atau islam plus. Kurang umum. Betul secara struktur politik sangat aman tetapi dalam gelanggang elektoral menjadikan mereka tidak strategis untuk berkoalisi selain bahwa menggerombolnya kelompok nasionalis yang militan, justru bisa memungkinkan para political intrepreneur khususnya dari partai menengah di luar itu yang merasa pengin dapat tiket ke sana ke pilpres, ya entah Golkar, Nasdem dan lainnya bisa dengan mudah mengkapitalisasi peluang buat menguatnya gelombang sentimen Islam di kalangan pemilih,” katanya.
Nyarwi melanjutkan, kalau yang kedua, indikatornya adalah Gerindra memang terlihat loyal dan sepenuh hati mendukung pemerintahan Jokowi.
“Itu bisa dilihat dari statement Prabowo beberapa kali dan beberapa kesempatan, juga bisa dilihat kader-kader Gerindra merespons kebijakan pemerintah. Saya kira tidak ada satupun yang berada di luar pagar atau beroposisi, walaupun ada saja suara-suara di dalam, kalau kita telisik lebih jauh, tetapi idak disampaikan secara masif atau frontal. Itu konsteks hal itu,” kata Nyarwi.
“Di luar itu yang menarik, kalau flashback antara Bu Mega dan Pak Prabowo sempat ada perjanjian Batu Tulis dan mengecewakan. Artinya boleh dibilang, saat ini, sudah dari pilpres, disebut dengan rekonsiliasi. Isu itu sudah cair tidak lagi dihantui oleh trauma soal Batu Tulis. Kita mesti berpikiran positif. Ketika elite-elite merespons isu yang lebih. Itu yang bagus. Elite paham kapan mereka berkonstestasi secara tepat, kapan mereka perlu bersinergi untuk kepentingan yang lebih besar,” ucapnya.
Bagaimana dengan suara pemilih yang mendukung kedua partai saat di 2019? Nyarwi berpendapat, seandainya memanfaat peluang itu dan harus ada poros lain di luar bagi pemilih yang kecewa sebab saat ini Gerindra terkesan dirangkul PDIP.
Gelanggang Pertarungan
Nyarwi melanjutkan, namun perlu dibedakan gelanggang pertarungannya. Saat ini, pertarungan elektoralnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) ini menerangkan, gelanggang yang terdekat adalah pilkada. Koalisi dalam pilkada sangat lokal. Pengaruh kepada tokoh-tokoh tertentu dan dianggap berpengaruh atau punya karisma atau kuat.
“Pengaruh partai, hanya partai tertentu yang pengaruh suaranya sangat besar. Misalnya di Solo dengan PDI-P, tapi kan di wilayah lain tidak bisa. Dinamikanya sangat variatif,” ucapnya.
Kalau di gelanggang pileg, katanya, peran elite sangat dominan, di tempat tertentu partai sangat dominan.
“Yang bisa kita rasakan adalah di gelanggang pilpres karena petarungnya kan tidak banyak. Ya bisa dua atau tiga koalisi. Kalau yang muncul masih dua blok. Katakanlah, sama sama partai nasionalis berkoalisi tanpa menggandeng kelompok islam, misalnya, itu juga memberi peluang kepada kelompok-kelompok yang tidak suka kepada dua partai nasionalis ini atau tidak puas. Kecewa karena aspirasi atau dukungannya diabaikan, ya bisa jadi mereka mencari patron, dukungan partai. Ini juga bergantung dengan partai-partai di luar dua itu (Gerindra dan PDIP),” katanya.
Kalau PDIP dan Gerindra tersebut membangun dua poros koalisi islam nasionalis, katanya, bisa jadi punya peluang dan terjadi polarisasi. Polarisasinya bisa menguat dan hebat.
“Daripada 2019. justru lebih solid. Kalau, misalnya, mainstream-nya “melawan partai nasionalis” apalagi jika itu dikaitkan dengan RUU HIP seperti itulah. Justru itu kurang bagus kalau polarisasinya seperti itu. Bisa merugikan dalam berdemokrasi, kurang menyehatkan juga. Kecuali nanti, misalnya, di 2024, tidak dua blok tapi tiga blok, mungkin denyut atau ketegangan polarisasi tidak seperti yang kita khawatirkan. Tetapi sekali lagi ya negeri ini sudah biasa isu lama dengan nasionalis, religius, islamis, nah itu kan sudah isu lama sejak negara ini didirikan. Nah, kalau kelompok nasionalis gagal mengakomodasi kelompok religius, atau sebaliknya, kelompok religius tidak memaksimalkan atau menggandeng kelompok nasionalis dalam blok koalisi, semuanya akan berisiko. Terjadinya polarisasi dan fragmentasi yang lebih tajam,” katanya.
Sumber:BeritaSatu.com
https://www.beritasatu.com/willy-masaharu/politik/664887/pdip-dan-gerindra-berpotensi-duet-pada-2024